Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XXII/2024: Pembaruan Penting Mengenai Definisi Arbitrase Internasional di Indonesia

Pada tanggal 3 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi Indonesia (“MK”) menjatuhkan putusan No. 100/PUU-XXII/2024 (“Putusan MK 100/2024“) setelah permohonan pengujian Pasal 1 angka 9 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”) yang diajukan oleh para pemohon —seorang profesor, seorang pengacara, dan seorang arbiter— yang berargumen bahwa definisi putusan arbitrase internasional dalam Pasal tersebut tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal tersebut mendefinisikan Putusan Arbitrase Internasional sebagai putusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau oleh lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang dianggap sebagai putusan arbitrase internasional berdasarkan hukum Indonesia.
Pasal di atas telah dikritik karena menggabungkan dua pendekatan yang berbeda: konsep teritorial sempit, di mana putusan arbitrase dianggap ‘internasional’ berdasarkan lokasi di mana putusan arbitrase diberikan, dan konsep teritorial luas, yang memberikan lebih banyak ruang penafsiran di bawah hukum Indonesia. Ambiguitas ini telah menciptakan tantangan bagi para pelaku bisnis dan profesional hukum yang mencari kejelasan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia.
A. Putusan Arbitrase Internasional Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/2024: Kepastian Hukum yang Lebih Besar
MK menekankan bahwa kepastian hukum merupakan landasan dari sistem hukum nasional, termasuk dalam arbitrase internasional. Mahkamah memandang frasa “yang dianggap sebagai putusan arbitrase internasional di bawah hukum Indonesia” sebagai sumber utama ambiguitas. Perumusan yang luas ini membuka pintu untuk berbagai interpretasi.1
MK juga mencatat pendekatan teritorial campuran antara konsep teritorial sempit dan luas yang diterapkan oleh UU Arbitrase. Konsep teritorial sempit, yang mendefinisikan sifat internasional dari putusan arbitrase berdasarkan lokasi di mana putusan arbitrase diberikan, dipandang selaras dengan standar internasional-khususnya, Pasal I (1) Konvensi New York 1958.2 Di sisi lain, konsep teritorial yang luas, yang memberikan kewenangan kepada otoritas penegak hukum untuk menentukan apakah putusan arbitrase internasional atau tidak tanpa indikator yang jelas, dianggap menciptakan ketidakpastian hukum.
MK juga menyoroti bahwa pendekatan campuran ini — teritorial sempit dan teritorial luas— sering menyebabkan perselisihan di tingkat peradilan, seperti yang terlihat dalam kasus PT Pertamina vs PT Lirik Petroleum.3 Dalam kasus ini, perbedaan penafsiran atas Pasal 1 Angka 9 UU Arbitrase menyebabkan konflik terkait status internasional putusan arbitrase.4 Hal ini menunjukkan bagaimana multitafsir terhadap suatu norma dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang menghambat pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia.
Mengenai frasa yang diperdebatkan, pengadilan memutuskan bahwa frasa tersebut melanggar UUD 1945 karena kurangnya kejelasan norma (clarity), prediktabilitas hukum (prospectivity), dan konsistensi penerapan (constancy).5 Oleh karena itu, MK menghapus kata ‘dianggap’ dari Pasal 1 Angka 9 UU Arbitrase karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga dianggap inkonstitusional dan tidak mengikat.6
Dengan menghapus kata “dianggap”, pengadilan berusaha untuk menghilangkan ambiguitas dalam mendefinisikan putusan arbitrase internasional. Namun, pasca putusan tersebut, definisi putusan arbitrase internasional masih memiliki dua kemungkinan penafsiran (i) putusan yang diberikan di luar yurisdiksi Indonesia dan (ii) putusan yang diakui sebagai putusan arbitrase internasional di bawah hukum Indonesia. Hal ini berarti bahwa walaupun putusan tersebut mengklarifikasi definisi — sekarang dipertajam berdasarkan konsep teritorial yang sempit— beberapa ruang untuk penafsiran masih ada di dalam hukum Indonesia. Pasal 1, Butir 9 UU Arbitrase sekarang harus dibaca:
“Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia, atau putusan lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut hukum Negara Republik Indonesia merupakan putusan arbitrase internasional.”
B. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pelaku Usaha dan Praktik Arbitrase di Indonesia
- Kejelasan dan Kepastian Hukum yang Lebih Baik
Versi modifikasi dari Pasal 1 Angka 9 UU Arbitrase memberikan lebih banyak kejelasan dan kepastian hukum meskipun tetap mempertahankan penafsiran dua arah: putusan arbitrase bersifat internasional tidak hanya berdasarkan lokasi di mana putusan arbitrase tersebut dibuat, namun juga berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum Indonesia. Hal ini berarti bahwa meskipun definisi tersebut sekarang lebih jelas, masih terdapat ruang untuk interpretasi yang berbeda di bawah hukum Indonesia. - Penyelarasan dengan Standar Internasional
Sebagian besar, putusan pengadilan lebih menyelaraskan hukum Indonesia dengan Konvensi New York 1958, yang diadopsi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1981. Berdasarkan konvensi tersebut7, putusan arbitrase internasional didefinisikan sebagai putusan yang dijatuhkan di negara lain atau tidak dianggap sebagai putusan domestik di bawah hukum negara di mana pengakuannya dimintakan. - Penyederhanaan Proses Exequatur
Versi baru dari interpretasi kedua dari Pasal yang sekarang mengacu pada apa yang disediakan oleh hukum dapat mengurangi potensi kompleksitas dalam menentukan status internasional putusan arbitrase, dan diharapkan dapat menyederhanakan proses exequatur, mengurangi penundaan dan biaya. - Mengurangi Ruang untuk Berbagai Interpretasi
Meskipun putusan ini meminimalisir ketidakkonsistenan dalam penafsiran, pengadilan masih dapat menilai status putusan arbitrase di bawah hukum Indonesia. Mengingat hal ini, perusahaan dan praktisi hukum mungkin merasa bijaksana untuk mempertimbangkan hal ini ketika menyusun perjanjian arbitrase dan menyusun strategi pelaksanaan.
Pada akhirnya, Putusan MK 100/2024 telah menjunjung tinggi prinsip kepastian hukum dan telah menyelaraskan hukum nasional dengan standar internasional, meskipun versi modifikasi dari penafsiran kedua mungkin masih membuka pandangan yang berbeda. Para pelaku usaha dan praktisi hukum harus memantau bagaimana pengadilan menerapkan definisi yang telah direvisi ini dan apakah akan ada perubahan peraturan lebih lanjut.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi kami di ADCO Law.
***
ADCO Law adalah law firm jakarta,indonesia yang menyediakan ragam layanan hukum terintegrasi kepada klien mulai dari transaksi komersial dan litigasi perusahaan di berbagai sektor industri.
Berpengalaman lebih dari satu dekade, tidak hanya soal aspek regulasi, kami juga memahami industri dan bisnis klien. Kami memberikan nasihat hukum menyeluruh dan solusi untuk meminimalisasi risiko hukum secara komprehensif dalam menghadapi dinamika bisnis.
Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai masalah ini, jangan ragu untuk menghubungi kami
ADCO Law
Setiabudi Building 2, 2nd Floor, Suite 205C
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Setiabudi Karet
Jakarta Selatan, 12920, Indonesia.
Phone : +6221 520 3034
Fax : +6221 520 3035
Email : inquiry@adcolaw.com
Penafian: Artikel ini telah disiapkan hanya untuk tujuan bacaan ilmiah dan pemasaran dari ADCO Law. Dengan demikian, semua tulisan yang dimuat di sini bukan merupakan pendapat hukum formal dari ADCO Law. Oleh karena itu, ADCO Law harus dibebaskan dari dan/atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukan oleh entitas yang menggunakan tulisan ini di luar tujuan ADCO Law.