| |

Q&A Seputar RUPTL 2025–2034: Apa yang Perlu Diketahui Pelaku Usaha Ketenagalistrikan?

power-plant

Sebagai bagian dari komitmen transisi energi menuju Net Zero Emission (“NZE”) 2060, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (“ESDM”) telah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (“RUPTL”) PT PLN untuk periode 2025–2034 sebagai arah kebijakan kelistrikan nasional. Dokumen ini menetapkan prioritas PT PLN, membuka ruang investasi swasta, dan mencerminkan tantangan sekaligus peluang di sektor ketenagalistrikan. Tanya jawab ini dirancang untuk memandu pelaku usaha memahami implikasi praktis dari RUPTL. 

RUPTL yang merupakan dokumen perencanaan strategis nasional yang disusun oleh PT PLN dan disahkan oleh Menteri ESDM, berfungsi sebagai acuan dalam penyediaan listrik di Indonesia selama 10 tahun ke depan. Dokumen ini sangat penting karena menentukan arah investasi dan pengembangan infrastruktur kelistrikan, serta mengidentifikasi skenario energi baru dan terbarukan (EBT) yang akan membuka peluang kemitraan swasta, terutama melalui Independent Power Producer (IPP) dan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). 

Dalam RUPTL 2025–2034, PT PLN menetapkan dua skenario pengembangan kapasitas pembangkit; Business as Usual (“BAU”) dan Accelerated Renewable Energy Development (“ARED”). Dalam skenario ARED, PT PLN menargetkan tambahan kapasitas pembangkit sebesar 69.512 MW, yang terdiri atas: 

  • EBT sebesar 42.569 MW (sekitar 61,3% dari total tambahan kapasitas), 
  • Non-EBT sebesar 16.687 MW, dan 
  • Sistem penyimpanan energi (Battery Energy Storage System/”BESS”) sebesar 10.256 MW. 

Adapun pembangkit EBT yang diprioritaskan mencakup tenaga surya, hidro, bayu (angin), biomassa, serta pengembangan geothermal dan waste to energy. Hal ini merepresentasikan komitmen nyata menuju NZE 2060 sekaligus membuka peluang investasi luas bagi sektor energi bersih dan teknologi pendukung seperti smart grid dan fleksibel generation. 

Komposisi Bauran Energi Listrik

Komposisi Bauran Energi Listrik Berdasarkan Jenis Bahan Bakar Indonesia (GWh) Skenario ARED 
Sumber RUPTL 2025 2034 

Kebutuhan investasi mencapai Rp 2.780 triliun dalam 10 tahun ke depan, atau sekitar Rp 278 triliun per tahun. Menariknya, sekitar 71% dari kapasitas pembangkit baru akan dikembangkan oleh IPP, yang berarti pelaku usaha swasta sangat diharapkan berkontribusi. Investasi IPP diproyeksikan mencapai Rp 156,6 triliun per tahun, membuka ruang signifikan untuk pembiayaan proyek-proyek energi bersih.

Perkiraan Kebutuhan Investasi Proyek Ketenagalistrikan Tahun 2025 – 2034 
Sumber: RUPTL 2025 – 2034

PT PLN mengidentifikasi kebutuhan investasi sebesar Rp 2.780 triliun, yang didanai melalui campuran dana internal, Penyertaan Modal Negara (PMN), dan keterlibatan IPP. Untuk proyek-proyek yang tidak layak secara komersial (non-commercially viable), dibutuhkan intervensi fiskal dalam bentuk PMN atau peningkatan margin usaha Public Service Obligation (PSO). PT PLN juga mensimulasikan berbagai skenario keuangan untuk menjaga kesehatan finansialnya agar tetap dalam batas debt covenant yang disyaratkan oleh kreditur dan regulator. 

modern-electricity-power-station-blue-sky-background

RUPTL mempromosikan model kolaboratif antara PLN dan swasta melalui subholding PT PLN Indonesia Power dan PLN Nusantara Power. Selain itu, skema Power Purchase Agreement (“PPA”) menyediakan insentif bagi pengembang yang mencapai Commercial Operation Date (“COD”) lebih awal, serta penalti bagi keterlambatan. Peluang juga terbuka melalui skema KPBU sesuai Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. 

PT PLN mengakui adanya keterbatasan internal dalam mendanai proyek-proyek besar yang tidak layak secara komersial, terutama di sektor transmisi dan distribusi desa (Lisdes). Untuk itu, diperlukan PMN atau kenaikan margin PSO agar proyek tetap bankable. Menurut pandangan kami, keterbatasan pendanaan yang diakui dalam RUPTL menjadi sinyal bahwa pelaku usaha perlu mulai mempertimbangkan alternatif pembiayaan yang lebih fleksibel seperti blended finance, Project Finance (non-recourse financing) atau penerbitan green bond khususnya bagi proyek-proyek EBT yang menuntut struktur keuangan yang lebih inovatif dan kolaboratif. 

 

Green Enabling Super Grid bukan hanya proyek infrastruktur ketenagalistrikan, melainkan pengungkit transformasi sistem energi nasional. Dengan fokus pada interkoneksi lintas pulau seperti Sumatera–Jawa (ISJ), Kalimantan–Jawa (IKJ), dan Sumba–Bali–Jawa, proyek ini bertujuan mengevakuasi potensi energi baru terbarukan (EBT) dari daerah penghasil ke pusat-pusat beban. 

Dari sudut pandang ekonomi dan bisnis, proyek Green Enabling Super Grid ini berpotensi menciptakan dampak ekonomi di berbagai lini industri. Menurut analisis kami, beberapa sektor yang berpeluang terdampak positif antara lain: 

  • Investasi EBT: Dengan dibukanya akses transmisi dari daerah kaya potensi seperti Sumatera dan Kalimantan, proyek ini akan mendorong percepatan realisasi proyek-proyek pembangkit berbasis EBT yang sebelumnya terkendala oleh keterbatasan evakuasi daya. 
  • Dukungan Industri Hilirisasi: Interkoneksi ini juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan listrik sektor pengolahan dan hilirisasi tambang, terutama di wilayah seperti Sulawesi yang menjadi basis industri nikel dan smelter. 
  • Peluang Industri EV Dan Baterai: Sistem ketenagalistrikan yang ditingkatkan melalui proyek ini akan mendukung ekosistem kendaraan listrik dan baterai, termasuk pengembangan infrastruktur pendukungnya. 
  • Peluang Ekspor Listrik: Green Enabling Super Grid memperkuat sistem kelistrikan nasional, yang menjadi prasyarat untuk realisasi rencana ekspor listrik berbasis EBT ke negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. 

Adapun, secara sektoral sejumlah pelaku usaha dapat mengambil peran antara lain pada: 

  • Engineering, Procurement, and Construction (“EPC”): Proyek ini mencakup transmisi tegangan ekstra tinggi (275–500 kV), membuka peluang besar bagi kontraktor EPC nasional dan regional. 
  • Manufaktur Komponen: Permintaan kabel, trafo, menara, dan komponen jaringan lainnya akan meningkat signifikan. 
  • Logistik dan Pendukung: Skala dan keragaman geografis proyek ini menciptakan kebutuhan baru untuk logistik energi, survei geoteknik, serta rantai pasok lokal pendukung. 

PT PLN menunjukkan dukungan konkret terhadap program hilirisasi dengan menyediakan listrik yang andal untuk smelter dan industri SDA. Proyek yang dikategorikan sebagai Proyek Strategis Nasional (“PSN”) mendapat prioritas dalam infrastruktur ketenagalistrikan tambahan dan dapat dimasukkan dalam RUPTL melalui persetujuan Menteri ESDM. 

Pelaku usaha harus memperhatikan beberapa risiko: 

  • Mismatch lokasi EBT dan pusat beban (terutama di Jawa dan Sumatera); 
  • Keterbatasan pendanaan, gap funding, dan batas utang BUMN; 
  • Ketersediaan pasokan gas yang terbatas untuk Pembakit Listrik Tenaga Gas (PLTG); 
  • Risiko regulasi seperti carbon tax, power wheeling, dan revisi UU Ketenagalistrikan. 
    Keseluruhan ini memerlukan mitigasi risiko melalui studi kelayakan, inovasi teknologi, dan perencanaan komersial yang matang. 

Adapun, menurut pandangan kami, semua tantangan di atas tersebut berpotensi berdampak pada kelayakan finansial suatu proyek (project bankability), sehingga diperlukan pendekatan mitigasi melalui perencanaan komersial yang matang, model bisnis yang adaptif , serta keterlibatan dalam perundingan kebijakan dan studi kelayakan.  

PT PLN melalui RUPTL membuka ruang perubahan yang dinamis atas dasar perubahan kondisi aktual, baik dari sisi permintaan, kebijakan, maupun teknologi. Bagi pelaku usaha, fleksibilitas ini memberikan peluang untuk mengajukan proyek baru, berpartisipasi dalam studi kelayakan, atau merespons kebutuhan infrastruktur spesifik (seperti smelter atau industri prioritas) agar bisa diusulkan masuk dalam revisi RUPTL berikutnya. 

***

About ADCO Law:

ADCO Law is a law firm that offers clients a wide range of integrated legal services, including commercial transactions and corporate disputes in a variety of industry sectors. Over the course of more than a decade, we have grown to understand our clients’ industries and businesses as well as the regulatory aspects. In dealing with business dynamics, we provide comprehensive, solid legal advice and solutions to minimize legal and business risks.

From Upstream to Downstream, We Understand Your Industry. In complex transactions and certain cases, we actively engage with financial, tax, and environmental specialists, accountants, and law firms from various jurisdictions to add value to our clients. Our strong relationships with Government agencies, regulators, associations, and industry stakeholders ensure that our firm has a holistic view of legal matters.

ADCO Law is a Proud Member of the Alliott Global Alliance (AGA) in Indonesia. Founded in 1979, AGA is one of the largest and fastest-growing global multidisciplinary alliances, with 215 member firms in 95 countries. As a law firm, we also believe in regeneration. To stay abreast of business changes and stay relevant, our formation of lawyers is comprised of the top graduates from Indonesian and international law schools.

 

Contact our Business Development team for further information:

Alvin Mediadi, Business Development Manager, Indonesia 

alvin@adcolaw.com