Prospek dan Tantangan KI sebagai Jaminan Fidusia
Pelaku di sektor ekonomi kreatif kini memiliki akses memilih untuk mengajukan pembiayaan dengan jaminan kekayaan intelektual berkat Peraturan Pemerintah tentang Ekonomi Kreatif. Peraturan tersebut tertuang dalam PP Industri Kreatif Nomor 24 Tahun 2022, yang memberikan harapan baru bagi para pelaku ekonomi kreatif untuk dengan mudah mengakses pembiayaan atau kredit dari lembaga keuangan.
Potensi Kekayaan Intelektual (KI) dijadikan jaminan fidusia saat ini cukup besar. Hal ini dikonfirmasi oleh Partner untuk Area Praktik KI di ADCO Law, Adolf M. Panggabean. Ia mengatakan, potensi KI cukup besar mengingat nilai ekonomis yang ada di dalam suatu KI.
“Berbicara mengenai dan melihat merek-merek lokal, seperti beberapa nama merek di sektor food and beverages, secara kasatmata dapat terlihat jelas nilai ekonomisnya dari banyak cabang dan jumlah pengunjung yang relatif tinggi,” ujarnya kepada Hukumonline, Rabu (18/9).
Begitupun dengan KI lainnya, menurut Adolf, yaitu ciptaan film, musik, dan lagu yang jika sudah dikomersialisasikan, akan mempunyai nilai keekonomian. Hal yang sama berlaku juga bagi hak paten. Ketika dieksploitasi, maka ada nilai ekonomi yang seharusnya sama dengan keberadaan nilai ekonomi dari barang bergerak berwujud atau barang lainnya yang dapat dijadikan jaminan.
“Tapi perlu diperhatikan bahwa jaminan fidusia atas kekayaan intelektual sebenarnya tidak bisa dibandingkan dengan jaminan-jaminan lain karena nature kebendaan yang berbeda. Namun, secara prinsip, jaminan fidusia atas KI maupun atas kebendaan lainnya sebenarnya sama,” jelasnya.
Hal yang membedakan keduanya adalah barang yang tidak berwujud dan benda berwujud. Namun, dari sisi praktisnya, sebaiknya jaminan fidusia atas kekayaan intelektual jangan dijadikan jaminan utama, melainkan dijadikan jaminan tambahan.
Untuk itu, kreditur sebaiknya tetap berpegang pada jaminan yang relevan, seperti hak tanggungan, hak gadai, dan jika ada kebendaan lainnya yang bisa dijadikan jaminan utama.
PP No. 24 Tahun 2022 sendiri menitikberatkan pada pembiayaan berbasis kekayaan intelektual oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank, dimana disana diatur persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh debitur ataupun kreditur. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa pembiayaan berbasis kekayaan intelektual dilakukan melalui investor yang bukan merupakan lembaga keuangan.
Untuk pembiayaan yang dilakukan oleh investor maka baik dari sisi pelaku UMKM maupun dari sisi pemodal, tetap harus memperhatikan persyaratan minimum. Selain itu, mengingat sifatnya sebagai sebuah jaminan atas pinjaman dari debitur, jika debitur gagal membayar pinjamannya, penentuan nilai dari sebuah kekayaan intelektual memang menjadi penting.
PP No. 24 Tahun 2022 ini memberikan kewenangan kepada lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan bukan bank untuk melakukan penilaian atas kekayaan intelektual yang dijadikan jaminan.
Kemudian, di dalam PP No. 24 Tahun 2022 juga disebutkan bahwa penilaian atas kekayaan intelektual dilakukan dengan menggunakan pendekatan biaya, pendekatan pasar, pendekatan pendapatan, dan pendekatan penilaian lainnya sesuai dengan standar penilaian yang berlaku.
“Pendekatan biaya bisa dilihat dari biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan karya ataupun produknya, seperti lagu atau film. Dalam hal pendekatan pasar, maka penilaian dengan melihat bagaimana pasar melihat nilai dari suatu karya Kekayaan Intelektual. Kemudian untuk pendekatan pendapatan, seperti film yang meledak di pasaran, pendapatan yang didapat dari film tersebut bisa dipakai sebagai dasar untuk penentuan nilai valuasi KI tersebut,” Adolf menjelaskan.
Terdapat suatu masalah ketika pihak yang melakukan penentuan nilai tidak jelas. “Saat ini memang soal objektivitas ini masih bias, karena penilai sebagaimana diamanatkan PP belum ada” lugasnya. Jika menilik isi PP, Adolf mengungkapkan, yang melakukan penilaian haruslah penilai publik yang mendapat izin yang dikeluarkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan bidang keuangan. Pihak tersebut harus mempunyai kompetensi di bidang KI dan harus terdaftar di Kementerian Ekonomi Kreatif.
Baca Juga: Memahami Hak Cipta di Indonesia
Menghadapi Sengketa
Bisa dipastikan bahwa KI sebagai jaminan fidusia tidak melulu sesuai yang diharapkan, karena seiring berjalannya waktu pasti akan ada sengketa atau wanprestasi terjadi. Apabila hal itu terjadi Adolf mengingatkan, pemberi pinjaman dan kreditur harus memastikan bahwa persyaratan kekayaan intelektual harus terpenuhi seluruhnya. Pemberi pinjaman dan kreditur harus bisa memastikan dan meminta debitur memberikan jaminan bahwa jaminan KI bebas sengketa.
“Kesemuanya harus diproses sendiri sebelum akad kredit dan perjanjian fidusia ditandatangani,” lanjut Adolf.
Sayangnya KI sebagai jaminan fidusia masih sangat awam dan belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan menurut sepengetahuan Adolf, hanya ada sedikit bank terkait yang membantu terkait royalti lagu, sementara itu lembaga nonbank tidak ada sama sekali.
Melihat hal ini, Adolf menilai perlu adanya sosialisasi tentang pemahaman KI yang harus dimiliki oleh lembaga keuangan bank maupun nonbank. Pihak tersebut harus mengetahui bahwa KI memiliki nilai yang jika dieksploitasi secara benar, akan memiliki banyak manfaat.
“Pendidikan dan pengetahuan yang benar soal KI memiliki nilai bagi pelaku ekonomi harus terus digaungkan. Pemahaman tersebut juga harus diberikan ke pihak kreditur, baik bank maupun nonbank,” kata Adolf.
Sosialisasi terkait pentingnya pemahaman soal KI sebagai jaminan fidusia dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual maupun Kementerian Ekonomi dan Kreatif. Kedua lembaga ini harus proaktif turun ke masyarakat agar hal ini dapat terus berjalan.
Adolf sendiri pernah menangani kasus serupa dan akhirnya berhasil mendaftarkan karya kliennya sebagai jaminan fidusia, meski tantangan yang dihadapi pada saat itu adalah nilai valuator yang belum ada. Untuk menjawab tantangan ini, ia dan klien mempertimbangkan beberapa upaya sehingga menemukan kesepakatan rasio yang digunakan untuk nilai penjaminannya.
Intellectual property merupakan practice group terbaru dari ADCO Law pada 2024. Adolf dipercaya mengembangkan practice group tersebut, dimana practice group tersebut menyediakan ragam layanan kepada klien, mulai pendaftaran, penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan KI, maupun komersialisasi dari KI itu sendiri.
Meski masih ada banyak tantangan dalam pelaksanaan KI sebagai jaminan fidusia, Adolf telah melihat bahwa keseriusan pemerintah dalam hal ini sudah diperlihatkan. Hal ini dilihat dari sudah adanya payung hukum, meski masih diperlukan beberapa penambahan dan penjelasan lebih detail mengenai KI sebagai jaminan fidusia.
Untuk membantu pemerintah dalam penyebarluasan informasi mengenai KI sebagai jaminan fidusia, maka ADCO Law, sebagai law firm dan salah satu pemangku kepentingan, maupun juga asosiasi dan konsultan hukum kekayaan intelektual harus terus konsisten melakukan sosialisasi berupa training dan sharing. Tujuannya, agar semakin banyak masyarakat yang tahu dan para pemangku kepentingan menyadari bahwa masih terbatasnya informasi mengenai KI sebagai jaminan fidusia di tengah masyarakat.
“Kami percaya bahwa KI merupakan bagian penting bagi industri ekonomi kreatif. Pemahaman masyarakat yang baik, dan dukungan dari pemerintah atas KI, dapat mendorong peningkatan ekonomi hingga akses untuk menembus pasar global,” jelas Adolf.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara Hukumonline dengan ADCO Law.
***
ADCO Law adalah law firm jakarta,indonesia yang menyediakan ragam layanan hukum terintegrasi kepada klien mulai dari transaksi komersial dan litigasi perusahaan di berbagai sektor industri.
Berpengalaman lebih dari satu dekade, tidak hanya soal aspek regulasi, kami juga memahami industri dan bisnis klien. Kami memberikan nasihat hukum menyeluruh dan solusi untuk meminimalisasi risiko hukum secara komprehensif dalam menghadapi dinamika bisnis.
Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai masalah ini, jangan ragu untuk menghubungi kami
ADCO Law
Setiabudi Building 2, 2nd Floor, Suite 205C
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Setiabudi Karet
Jakarta Selatan, 12920, Indonesia.
Phone : +6221 520 3034
Fax : +6221 520 3035
Email : [email protected]
Penafian: Artikel ini telah disiapkan hanya untuk tujuan bacaan ilmiah dan pemasaran dari ADCO Law. Dengan demikian, semua tulisan yang dimuat di sini bukan merupakan pendapat hukum formal dari ADCO Law. Oleh karena itu, ADCO Law harus dibebaskan dari dan/atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukan oleh entitas yang menggunakan tulisan ini di luar tujuan ADCO Law.