| |

Larangan Ekspor Batubara di Awal Tahun 2022

Larangan Ekspor Batubara

Di penghujung tahun 2021, para pelaku usaha pertambangan batu bara dikejutkan dengan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Larangan Ekspor Batubara. Kebijakan ini terkait dengan larangan ekspor batubara yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (“Ditjen Minerba”) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (“ESDM”) melalui Surat Nomor B-1605/MB .05/DJB.B/2021 31 Desember 2021, tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Untuk Kelistrikan Umum (“Surat 1605/2021”).

Dalam Surat 1605/2021, Ditjen Minerba menyatakan bahwa pertimbangan dikeluarkannya surat tersebut adalah Surat yang dikeluarkan oleh Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) (Persero) Nomor 77875/EPI.01.01/ C01000000/2021-R tanggal 31 Desember 2021 perihal Krisis Pasokan Batubara PT PLN Persero dan Independent Power Producers (“Surat PLN”). Surat dari PLN menginformasikan bahwa telah terjadi krisis pasokan batubara dan ketersediaan batubara yang sangat rendah di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PLN Group dan Independent Power Producers (“IPP”).

Kondisi yang disebutkan dalam Surat PLN tersebut menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya pengoperasian PLTU yang akan berdampak pada sistem kelistrikan nasional sehingga menyebabkan pemadaman yang meluas. Kondisi ini mendorong Ditjen Minerba untuk menerbitkan Surat 1605/2021 untuk mengamankan pasokan batubara dan untuk mengantisipasi cuaca ekstrim pada bulan Januari dan Februari 2022. Surat 1605/2021 mengatur kewajiban dan larangan bagi semua perusahaan pemegang izin sebagai berikut: (1) Izin Usaha Pertambangan (Izin Usaha Pertambangan, “IUP”); (2) Izin Usaha Pertambangan Khusus (“IUPK”); (3) IUPK sebagai kelanjutan dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, “PKP2B”); dan (4) Izin Pengangkutan dan Penjualan Batubara, sebagai berikut:

  1. dilarang mengekspor batubara untuk periode 1 – 31 Januari 2022;
  2. wajib menyediakan seluruh batubara untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sesuai dengan: (1) kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri; (2) penugasan dari Pemerintah kepada perusahaan; dan/atau (3) kontrak dengan PT PLN Persero dan IPP; dan
  3. apabila batubara telah ditempatkan di pelabuhan muat dan/atau dimuat ke kapal, batubara tersebut harus segera dikirim ke PLTU milik PT PLN Group dan IPP.

Larangan ekspor batu bara akan dievaluasi kembali dan ditinjau berdasarkan realisasi pasokan batu bara ke PLTU milik PT PLN Group dan IPP.

Larangan Ekspor Batubara

Risiko Komersial dan Hukum

Surat 1605/2021 menyebutkan bahwa dasar dikeluarkannya kebijakan larangan ekspor batubara adalah Poin 3 Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Pasokan Batubara Dalam Negeri (“Keputusan 139/2021”). Berdasarkan Keputusan 139/2021, dalam keadaan darurat karena pasokan batubara dalam negeri tidak mencukupi, Ditjen Minerba dapat menunjuk pemegang : (1) IUP; (2) IUPK; (3) IUPK sebagai kelanjutan dari PKP2B; (4) dan Izin Pengangkutan dan Penjualan Batubara untuk memenuhi pasokan batubara dalam negeri.

Meskipun larangan ekspor batubara memiliki dasar hukum, kebijakan ini membawa risiko komersial dan hukum bagi produsen batubara Indonesia yang telah memiliki komitmen untuk memenuhi permintaan pembelinya. Kondisi ini menciptakan ketidakpastian di pasar dan potensi perselisihan antara produsen batubara Indonesia dengan pembelinya. Berikut adalah risiko komersial dan hukum yang mungkin timbul dari larangan ekspor batubara yang harus diperhitungkan oleh produsen batubara Indonesia:

  1. keterlambatan pengiriman batubara;
  2. biaya kelebihan waktu lama berlabuh (demurrage); dan
  3. klaim dan gugatan dari pembeli

Kualifikasi Larangan Ekspor Batubara sebagai Force Majeure

Pada bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa akan ada beberapa risiko komersial dan hukum bagi produsen batubara Indonesia akibat larangan ekspor batubara. Untuk mengurangi risiko komersial dan hukum, produsen batubara Indonesia dapat menyampaikan Pemberitahuan Force Majeure kepada pembelinya dengan mengacu pada klausula Force Majeure yang diatur dalam perjanjian jual beli batubara.

Read More: Law Firm: Jenis dan Tugas

Berdasarkan standar perjanjian jual beli batubara, terdapat klausula Force Majeure yang memuat pengertian kejadian Force Majeure dan tata cara penyampaian Pemberitahuan Force Majeur. Secara umum, keadaan yang dapat dikategorikan Force Majeure dalam klausul Force Majeure dalam suatu kontrak/perjanjian antara lain:

  1. bencana alam atau peristiwa yang terjadi di luar kendali manusia, antara lain kebakaran, letusan gunung berapi, gempa bumi, kekeringan, gelombang pasang, dan banjir;
  2. perang, permusuhan (baik bukan perang atau perang yang dinyatakan), invasi, mobilisasi, atau perang saudara;
  3. kontaminasi radioaktif dari setiap bahan bakar nuklir atau limbah nuklir dari pembakaran bahan bakar nuklir, bahan peledak beracun radioaktif, atau sifat berbahaya lainnya dari rakitan nuklir yang dapat meledak, atau komponen nuklir dari rakitan tersebut;
  4. kerusuhan, pemogokan, penundaan, penutupan atau kekacauan;
  5. tindakan atau ancaman terorisme;
  6. perubahan Regulasi Pemerintah; atau
  7. keadaan tak terduga lainnya di luar kendali para pihak, yang tidak masuk akal bagi pihak-pihak yang terkena dampak untuk mengambil tindakan pencegahan yang tidak dapat dihindari oleh pihak-pihak yang terkena dampak dengan upaya terbaik.

Larangan Ekspor Batubara

Namun, bagaimana jika klausul Force Majeure dalam perjanjian jual beli batubara tidak menyebutkan perubahan Regulasi Pemerintah tersebut sebagai peristiwa Force Majeure? Ada kemungkinan bahwa pembeli akan menolak pemberitahuan Force Majeure, dan para pihak harus menempuh penyelesaian sengketa. Namun, tetap akan lebih baik untuk melalui Pemberitahuan Force Majeure sebagai tindakan pencegahan.

Selanjutnya peristiwa Force Majeure tersebut di atas perlu ditinjau lebih lanjut dengan mengacu pada Pasal 1244 KUHPER, dimana ada tiga syarat yang harus dibuktikan oleh pihak yang menderita peristiwa Force Majeure agar keadaan Force Majeure tersebut dianggap telah terjadi, sebagai berikut:

  1. keadaan yang tidak dapat diprediksi atau tidak terduga;
  2. keadaan di luar kehendak dan kekuasaan pihak yang menderita keadaan Force Majeure; dan
  3. tidak ada itikad buruk dari pihak yang mengalami keadaan Force Majeure.

***

ADCO Law mendapatkan kepercayaan untuk mewakili klien dari perusahaan multinasional hingga entitas-entitas baru di berbagai industri untuk mencapai tujuan bisnis mereka di Indonesia.

ADCO Law sebagai Firma Hukum Jakarta membantu klien untuk menyusun, mengatur dan mengimplementasikan usaha bisnis dan investasi mereka, termasuk penataan, pembiayaan, dan mengamankan investasi serta mendirikan perusahaan asing baru di Indonesia. 

Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai masalah ini, jangan ragu untuk menghubungi kami

ADCO Law
Setiabudi Building 2, 2nd Floor, Suite 205C
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Setiabudi Karet
Jakarta Selatan, 12920, Indonesia.
Phone : +6221 520 3034
Fax : +6221 520 3035
Email : [email protected]