Hak Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Fidusia di Indonesia: Terobosan atau Tantangan?

Ekonomi kreatif (“Ekraf“) secara signifikan meningkatkan Produk Domestik Bruto (“PDB”) nasional. Pertumbuhan sektor ini sebagian besar didukung oleh perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (“HKI“), yang mendorong inovasi dengan memberikan imbalan kepada para pencipta melalui penggunaan karya mereka, salah satunya sebagai jaminan fidusia. Penggunaan HKI sebagai jaminan fidusia diakui dalam beberapa peraturan seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU 28/2014“), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU 13/2016“), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif atau (“UUEK“), dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 (“PP 24/2022“) yang lebih lanjut merinci masalah ini. Regulasi ini membuka akses pembiayaan bagi pelaku ekonomi kreatif, memungkinkan mereka untuk menggunakan HKI sebagai jaminan fidusia. Meskipun terdapat tantangan dalam penilaian dan pelaksanaannya, potensi HKI diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Ekonomi Kreatif dan Kontribusinya terhadap Ekonomi Indonesia
Ekraf telah menjadi sektor strategis dalam ekonomi Indonesia. Sektor ini mencakup berbagai industri yang berfokus pada kreativitas dan inovasi, seperti seni, desain, musik, film, dan teknologi informasi. Mengutip dari situs resmi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, kontribusi HKI terhadap PDB nasional terus meningkat pada periode 2019-2022. Pada tahun 2019, HKI menyumbang IDR 1.105 triliun atau sekitar 7% dari rata-rata PDB, menempatkan Indonesia di peringkat ketiga secara global dalam kontribusi Hak Kekayaan Intelektual, setelah Amerika Serikat dan Korea Selatan. 1 HKI memainkan peran penting dalam melindungi karya kreatif dan mendorong inovasi, memberikan hak eksklusif kepada pencipta untuk menggunakan, memproduksi, dan mengkomersialkan karya mereka. Perlindungan HKI meningkatkan nilai tambah produk kreatif, membuatnya lebih kompetitif di pasar global.
Baca Juga: Keahlian Kami: Kekayaan Intelektual
Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Fidusia
Meskipun telah naik menjadi sektor strategis di Indonesia, Ekraf masih menghadapi beberapa tantangan dalam pengembangannya, seperti peluang promosi, kekurangan infrastruktur, peningkatan kapasitas bagi pelaku ekonomi kreatif, dan sinergi yang baik antara pemangku kepentingan yang masih menjadi area penting untuk perbaikan. Akses terbatas ke layanan perbankan adalah tantangan lain yang membuat pembiayaan menjadi hambatan signifikan. Saat mengajukan pinjaman, bisnis biasanya diharuskan memberikan jaminan untuk menjamin kewajiban hutang mereka.
Untuk mengatasi masalah pembiayaan ini, terobosan signifikan di sektor ekonomi kreatif Indonesia telah dicapai melalui diberlakukannya UUEK dan PP 24/2022, yang memberikan pedoman rinci untuk pembiayaan berbasis HKI. Di bawah UUEK dan PP 24/2022, konsep penggunaan HKI sebagai jaminan fidusia, yang sudah diakui dalam UU 28/2014 dan UU 13/2016, diperkuat dan diperluas dengan menyediakan regulasi yang lebih komprehensif.
PP 24/2022, khususnya Pasal 7 ayat (2), menguraikan persyaratan untuk memperoleh pembiayaan berbasis HKI di Indonesia, sebagai berikut:
- Mengajukan Proposal Pembiayaan: Pelaku ekonomi kreatif harus menyiapkan proposal yang merinci kebutuhan dan tujuan pembiayaan, bagaimana dana akan digunakan, dan potensi pengembalian investasi.
- Memiliki Usaha Ekonomi Kreatif: Pemohon harus memiliki usaha ekonomi kreatif yang sudah berdiri dengan potensi pertumbuhan. Usaha ini harus terdaftar secara hukum dan memiliki bukti aktivitas ekonomi yang sah.
- Memiliki Perjanjian Mengikat atas Hak Kekayaan Intelektual Produk Ekonomi Kreatif: HKI yang digunakan sebagai jaminan fidusia harus dilisensikan kepada pihak lain.
- Memiliki Sertifikat Pencatatan HKI atau Sertifikat HKI: Pemohon harus memiliki dokumen resmi yang mencatat atau membuktikan kepemilikan HKI, seperti sertifikat paten, merek dagang, atau hak cipta.
Untuk digunakan sebagai jaminan fidusia, HKI harus memenuhi empat persyaratan spesifik yang disebutkan di atas untuk memastikan bahwa Hak Kekayaan Intelektual memiliki nilai ekonomi yang jelas dan landasan hukum yang kuat, sehingga lembaga keuangan dapat menerimanya sebagai aset jaminan yang sah dan andal.
Namun, pelaksanaan regulasi terkait HKI ini, terutama mengenai mekanisme penilaian HKI, menghadapi tantangan. Nilai ekonomi HKI harus dapat diukur secara objektif agar dapat berfungsi efektif sebagai jaminan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa HKI dapat mencakup utang peminjam dengan memadai dan sekaligus mematuhi persyaratan peraturan yang mengharuskan nilai HKI dicatat saat pendaftaran sebagai jaminan. Adapun penilai HKI, menurut PP 24/2022, penilai harus bersertifikat sesuai dengan persyaratan peraturan untuk menilai nilai HKI. Oleh karena itu, kami percaya bahwa pengembangan pedoman spesifik dan memastikan ketersediaan penilai HKI bersertifikat adalah kunci untuk memfasilitasi penggunaan efektif Hak Kekayaan Intelektual sebagai jaminan fidusia.
Tantangan dalam Pelaksanaan
Hingga saat ini, pelaksanaan regulasi ini belum terlihat. Meskipun ada upaya untuk menggunakan HKI sebagai jaminan fidusia, beberapa hambatan dan tantangan menghalangi realisasi skema pembiayaan ini. Tantangan utama meliputi:
- Kurangnya Pedoman Penilaian: Seperti yang dibahas di bagian sebelumnya, tantangan utama dalam penerapan HKI sebagai jaminan adalah penilaian nilai ekonomi HKI. Saat ini, belum ada pedoman penilaian yang mapan dan diakui secara luas untuk HKI. Pedoman ini penting untuk menyediakan dasar penilaian objektif jaminan yang dapat diterima oleh lembaga pembiayaan. Mengingat sifat HKI yang kompleks dan beragam, pengembangan pedoman ini memerlukan keterlibatan berbagai ahli dalam bidang HKI dan ekonomi kreatif.
Mengenai penilaian HKI, menurut Pasal 12 ayat (1) PP 24/2022, penilaian HKI dapat dilakukan melalui tiga pendekatan utama:
- Pendekatan Biaya: Pendekatan ini menilai HKI berdasarkan biaya yang diperlukan untuk mengganti atau mereplikasi aset, sering digunakan untuk perangkat lunak atau karya seni.
- Pendekatan Pasar: Pendekatan ini menilai HKI berdasarkan transaksi pasar dari aset serupa, sering digunakan untuk merek dagang dan hak cipta.
- Pendekatan Pendapatan: Pendekatan ini menilai HKI berdasarkan potensi pendapatan masa depan, cocok untuk paten yang dapat menghasilkan royalti atau pendapatan lisensi. /Selain itu, ada juga pendekatan valuasi, yang dapat menjadi alternatif tambahan jika ketiga pendekatan sebelumnya tidak efektif dalam menentukan nilai IP. /Namun, seperti yang disebutkan, penilai yang berwenang untuk semua pendekatan di atas harus memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) dan (3) PP 24/2022.
- Kurangnya Lembaga Penilaian: Pasal 12 ayat (3) PP 24/2022 menetapkan bahwa penilaian HKI harus dilakukan oleh penilai yang memenuhi kriteria tertentu: a) memiliki lisensi penilai publik, b) memiliki kompetensi dalam penilaian HKI, dan c) terdaftar di kementerian yang mengawasi ekonomi kreatif. Meskipun ada penilai publik yang diakui, kompetensi mereka dalam penilaian HKI adalah masalah terpisah yang memerlukan validasi dalam praktik. Berbeda dengan negara seperti Singapura, dengan lembaga seperti IP Value Lab (IPVL), dan Australia, dengan Australian Valuation Office (AVO), Indonesia saat ini kekurangan lembaga operasional yang didedikasikan untuk penilaian HKI, meskipun regulasi yang ada sudah ada.
- Eksekusi HKI sebagai Jaminan Fidusia: Tantangan besar lainnya adalah mekanisme eksekusi HKI dalam hal terjadi wanprestasi. Ketika debitur wanprestasi, dan jaminan harus dieksekusi, prosedur untuk mengeksekusi HKI dan lembaga yang membantu eksekusi masih belum jelas. Mengingat sifat HKI yang tidak berwujud, proses eksekusi ini lebih kompleks dibandingkan jaminan konvensional, seperti properti atau kendaraan.
Kesesuaian HKI sebagai Jaminan dengan Kerangka Hukum Jaminan Fidusia
Pasal 9 PP 24/2022 menyatakan bahwa lembaga pembiayaan dapat menggunakan HKI sebagai jaminan hutang. HKI yang memenuhi syarat harus terdaftar atau tercatat di kementerian yang mengawasi masalah hukum dan HKI.
Namun, selain tantangan utama yang dibahas di bagian sebelumnya, regulasi ini masih kurang penjelasan yang memadai mengenai mekanisme penggunaan HKI sebagai jaminan fidusia. Oleh karena itu, meskipun UU 28/2014 dan UU 13/2016 memungkinkan HKI seperti hak cipta dan paten digunakan sebagai jaminan fidusia, konsep ini tetap asing bagi sektor jasa keuangan. Akibatnya, lembaga pembiayaan masih ragu untuk menerima HKI sebagai jaminan karena kesulitan dalam menilai dan memastikan nilai ekonominya. 2
Sementara itu, dalam sistem perbankan, jaminan kredit biasanya melibatkan aset dengan nilai yang jelas yang dapat dieksekusi dalam kasus wanprestasi. Prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Security, Condition) dan prinsip 7P (Personality, Party, Purpose, Prospect, Payment, Profitability, and Protection) digunakan oleh bank untuk menilai kelayakan kredit. HKI, sebagai aset yang tidak berwujud dan sulit dinilai, menghadirkan tantangan unik dalam sistem ini.
Secara hukum, PP 24/2022 memungkinkan HKI untuk dijadikan sebagai jaminan fidusia. Namun, dalam praktiknya, lembaga pembiayaan perlu memastikan ada mekanisme yang jelas dan andal untuk menilai dan mengelola HKI sebagai jaminan. Tanpa mekanisme yang jelas, lembaga pembiayaan akan tetap ragu untuk menerima HKI sebagai jaminan kredit.
Baca Juga: Memahami Kasasi dalam Sistem Hukum Indonesia
Kelayakan Hak Kekayaan Intelektual dalam Kerangka Jaminan Fidusia
Menilai apakah HKI memenuhi semua elemen jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF“) adalah penting untuk memahami pelaksanaan HKI sebagai jaminan fidusia. UUJF menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan berdasarkan kepercayaan, dengan objek tetap berada dalam penguasaan pemilik. HKI sebagai jaminan fidusia memenuhi definisi ini karena meskipun hak kepemilikan dialihkan dalam kapasitas fidusia, pemilik asli tetap dapat menggunakan HKI tersebut.
Menurut Pasal 9 UUJF, jaminan fidusia dapat diberikan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, serta benda tidak bergerak. Dengan demikian, secara teori, HKI sebagai aset tidak berwujud, seperti paten dan hak cipta, memenuhi syarat sebagai jaminan fidusia. Selain itu, sifat aksesori dan droit de preference dari jaminan fidusia memberikan hak kepada penerima fidusia untuk memprioritaskan pembayaran hutang melalui eksekusi jaminan. HKI sebagai jaminan fidusia harus dapat dieksekusi berdasarkan prinsip ini, yang secara teori mungkin tetapi memerlukan regulasi teknis lebih lanjut untuk memastikan likuiditasnya dalam kasus eksekusi.
Praktik Terbaik: Hak Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Fidusia
Negara maju, seperti Singapura, telah berhasil mengimplementasikan HKI sebagai jaminan fidusia. Singapura memiliki lembaga penilaian HKI seperti American Valuation Singapore, Consort Intellectual Asset Management, dan Deloitte & Touche Financial Advisory Services, yang berperan dalam menilai HKI secara akurat, sehingga membantu bank menentukan jumlah dana yang akan dipinjamkan. 3
Singapura juga memiliki skema pembiayaan yang terstruktur dengan lembaga seperti IP Value Lab (IPVL) dan Lembaga Keuangan Partisipatif (Participating Financial Institutions, PFIs) yang memainkan peran penting dalam menilai kelayakan kredit dan memberikan pinjaman berbasis HKI. PFIs melakukan uji tuntas untuk memastikan HKI yang digunakan sebagai jaminan memiliki nilai yang cukup untuk dijadikan jaminan. 4 Kami percaya bahwa model semacam ini dapat diadopsi di Indonesia dengan mendirikan lembaga penilaian khusus, skema pembiayaan yang terstruktur, dan kolaborasi antara pemerintah, bank, dan penilai.
Kolaborasi dengan bank adalah aspek penting lainnya. Singapura menunjuk bank-bank besar seperti DBS, OCBC, dan UOB untuk memberikan kredit dengan jaminan HKI. Menurut pandangan kami, Indonesia dapat mengikuti pendekatan ini dengan menunjuk beberapa bank yang siap dan mampu menangani kredit berbasis HKI. Kesadaran dan edukasi publik juga merupakan kunci keberhasilan Singapura, di mana pemerintah secara aktif mempromosikan dan mengedukasi pelaku ekonomi kreatif tentang pentingnya HKI dan bagaimana memanfaatkannya sebagai jaminan.
Seperti disebutkan sebelumnya, sebelum diberlakukannya UUEK dan PP 24/2022, Indonesia sudah menetapkan dasar untuk penggunaan hak cipta dan paten sebagai jaminan fidusia melalui UU 28/2014 dan UU 13/2016. Namun, untuk memastikan implementasi yang efektif dalam konteks saat ini, pedoman teknis yang lebih rinci diperlukan untuk mendukung dan memfasilitasi penggunaan praktis HKI sebagai jaminan.
Baca Juga: Konsiliasi: Suatu Alternatif Penyelesaian Sengketa
Menuju Implementasi yang Efektif
Menurut pandangan kami, untuk memastikan implementasi yang efektif dari HKI sebagai jaminan fidusia, langkah-langkah lebih lanjut diperlukan dalam menyediakan infrastruktur penilaian dan regulasi pendukung. Lembaga pembiayaan memerlukan pedoman teknis yang jelas tentang penerimaan dan penilaian HKI sebagai jaminan. Pemerintah juga harus memastikan bahwa penilai publik menerima pelatihan dan sertifikasi yang memadai, serta mengembangkan standar penilaian khusus untuk Hak Kekayaan Intelektual .
Kami percaya bahwa keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, industri kreatif, lembaga keuangan, dan penilai publik, adalah penting dalam membangun ekosistem yang mendukung penggunaan HKI sebagai jaminan fidusia. Dengan demikian, industri ekonomi kreatif di Indonesia dapat berkembang lebih lanjut dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut penilaian kami, pengembangan pasar sekunder untuk HKI juga diperlukan. Pasar ini akan memungkinkan HKI untuk diperdagangkan, sehingga menyediakan likuiditas untuk jenis HKI ini dan memberikan kepercayaan lebih kepada lembaga keuangan dalam menerima HKI sebagai jaminan.
Dengan kerangka hukum yang jelas dan upaya kolaboratif dari semua pemangku kepentingan, tantangan dalam penilaian HKI dapat diatasi, sehingga memungkinkan implementasi PP 24/2022 yang efektif dan memberikan manfaat nyata bagi para pelaku ekonomi kreatif di Indonesia.
Kami berpendapat bahwa dengan mengatasi tantangan ini dan menerapkan strategi yang diusulkan, Indonesia dapat secara efektif memanfaatkan HKI sebagai sumber jaminan yang berharga, memperluas peluang pembiayaan untuk bisnis dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Untuk pertanyaan lebih lanjut atau konsultasi mengenai hal ini, jangan ragu untuk menghubungi kami di ADCO Law.
***
ADCO Law adalah law firm jakarta,indonesia yang menyediakan ragam layanan hukum terintegrasi kepada klien mulai dari transaksi komersial dan litigasi perusahaan di berbagai sektor industri.
Berpengalaman lebih dari satu dekade, tidak hanya soal aspek regulasi, kami juga memahami industri dan bisnis klien. Kami memberikan nasihat hukum menyeluruh dan solusi untuk meminimalisasi risiko hukum secara komprehensif dalam menghadapi dinamika bisnis.
Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai masalah ini, jangan ragu untuk menghubungi kami
ADCO Law
Setiabudi Building 2, 2nd Floor, Suite 205C
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Setiabudi Karet
Jakarta Selatan, 12920, Indonesia.
Phone : +6221 520 3034
Fax : +6221 520 3035
Email : [email protected]
Penafian: Artikel ini telah disiapkan hanya untuk tujuan bacaan ilmiah dan pemasaran dari ADCO Law. Dengan demikian, semua tulisan yang dimuat di sini bukan merupakan pendapat hukum formal dari ADCO Law. Oleh karena itu, ADCO Law harus dibebaskan dari dan/atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukan oleh entitas yang menggunakan tulisan ini di luar tujuan ADCO Law.