| | |

Kalah Gugatan Nikel di WTO, Indonesia Dipaksa Ekspor Nikel Mentah?

Nickel-Lawsuit

Gugatan Uni Eropa terhadap Indonesia di WTO

Berdasarkan data United States Geological Survey (USGS), Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, dimana pada tahun 2021 diperkirakan Indonesia menjadi eksportir bijih nikel mentah tertinggi di dunia dengan jumlah 21 juta metrik ton atau senilai dengan 20 Miliar USD atau setara dengan 326 Triliun. Sumber daya tersebut bermanfaat bagi perusahaan stainless steel dan yang sangat menjanjikan saat ini adalah untuk baterai kendaraan listrik. Kendati demikian, selama puluhan tahun sebelumnya Indonesia hanya mengekspor bijih nikel dalam bentuk mentah.

Battery Mineral Resource in Indonesia

Sumber: Market Study of Battery Mineral Resource in Indonesia, National Battery Research Institute.

Hingga pada 2020 lalu, Pemerintah Indonesia resmi menetapkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, hal ini merupakan amanat dari Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang menyatakan bahwa pengolahan dan pemurnian hasil penambangan dalam negeri wajib dilakukan di dalam negeri dengan pertimbangan bahwa nilai ekspor akan lebih menguntungkan apabila bijih nikel tersebut diubah menjadi komoditas yang lebih bernilai. Atas kebijakan tersebut Uni Eropa sebagai salah satu importir nikel terbesar merasa dirugikan karena terbatasnya akses terhadap bijih nikel dan menilai Indonesia telah melanggar ketentuan WTO yakni Pasal XI:1 General Agreement on Tariffs and trades (GATT) 1994, yang berbunyi:

“No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licences or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.”

Larangan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal XI:1 GATT 1994 ini diatur dengan sangat umum, dimana ketentuan ini mengatur bahwa tidak ada larangan atau batasan kepada negara apabila ingin menerapkan pembatasan dalam bentuk bea masuk, pajak maupun pungutan lainnya yang diterapkan kepada suatu produk yang diimpor. Tindakan pembatasan dalam bentuk kuota, perijinan impor atau ekspor merupakan tindakan yang tidak diperbolehkan dalam perdagangan WTO. Disamping itu, Uni Eropa juga menuduh Indonesia telah melakukan skema subsidi yang dilarang berdasarkan Subsidy and Countervailing Measures (SCM) Agreement melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 76 Tahun 2012 dan PMK No. 105 Tahun 2016. Terkait larangan subsidi tersebut berupa pengecualian terhadap bea impor kepada:

  1. perusahaan yang sedang melakukan modernisasi atau pengembangan serta membangun pabrik baru; dan
  2. secara spesifik yang termasuk dalam Wilayah Pengembangan Industri (WPI) potensial I

Oleh sebab itu, Uni Eropa melayangkan gugatan gugatan terhadap Indonesia kepada WTO pada 2021 lalu. Terkait dengan gugatannya, Uni Eropa wajib melakukan pembuktian prima facie, artinya untuk dapat membuktikan tuduhan Uni Eropa bahwa Indonesia telah inkonsisten terhadap komitmenya terhadap ketentuan dalam WTO, Uni Eropa harus memiliki bukti yang cukup kuat untuk dilanjutkan ke proses persidangan hingga putusan akhir.

WTO vs Indonesia

Indonesia melanggar ketentuan WTO?

Sidang kemudian dilaksanakan pada November 2021 lalu, diawali dengan panel sengketa WTO yang melakukan pendalaman atas gugatan Uni Eropa dan dokumen pembelaan oleh Indonesia. Dalam gugatannya tersebut, Uni Eropa berpandangan bahwa Indonesia telah melanggar ketentuan dalam WTO untuk memberikan akses yang luas bagi perdagangan internasional termasuk ekspor nikel mentah. Namun sayangnya, pada November 2022 lalu Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan tersebut. Dalam laporan terakhirnya, panel sengketa memutuskan bahwa kebijakan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 yang menyatakan bahwa setiap negara anggota WTO dilarang untuk melakukan pembatasan selain tarif, pajak, dan bea lain, dan bukan pembatasan lain termasuk kuota dan perizinan impor atau penjualan dalam rangka ekspor. WTO kemudian menolak dasar pembelaan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (Aspek Lingkungan) dengan menyatakan bahwa selain tarif, pajak dan bea lainnya harus dikelola oleh pihak yang mengadakan kontrak, dan pembelaan tersebut tidak dapat dibenarkan dengan Pasal XI.2 (a) dan Pasal XX (d) dari GATT 1994:

Pasal XI. 2 (a):

“2. The provisions of paragraph 1 of this Article shall not extend to the following:

(a) Export prohibitions or restrictions temporarily applied to prevent or relieve critical shortages of foodstuffs or other products essential to the exporting contracting party;”

Pasal XX (d):

“Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures:

(d) necessary to secure compliance with laws or regulations which are not inconsistent with the provisions of this Agreement, including those relating to customs enforcement, the enforcement of monopolies operated under paragraph 4 of Article II and Article XVII, the protection of patents, trade marks and copyrights, and the prevention of deceptive practices;”

Pemerintah Indonesia kemudian berpendapat bahwa keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga masih ada kesempatan bagi Indonesia untuk mengajukan banding dan tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai tersebut sebelum ada keputusan sengketa diadopsi Dispute Settlement Body (DSB). Oleh karena itu, pada 12 Desember 2022, Pemerintah Indonesia mengajukan banding terhadap putusan Panel WTO yang menyatakan bahwa kebijakan larangan ekspor bijih nikel dan hilirisasi nikel dianggap telah melanggar ketentuan WTO.

Hilirisasi Nikel Pasca Kekalahan Indonesia dalam WTO

Sebagai upaya berkelanjutan untuk meningkatkan nilai tambah dari bahan baku material di Indonesia, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk fokus pada pengembangan hilirisasi komoditas karena kebijakan pemerintah mengenai larangan ekspor nikel dianggap berhasil. Hal ini dapat dilihat melalui total peningkatan nilai tambah komoditas nikel pada tahun 2022 dengan jumlah total US $ 12 miliar atau setara dengan 188 triliun rupiah.

Terkait hal ini, sebagai kebijakan lanjutan, pemerintah Indonesia juga akan memberlakukan larangan untuk ekspor bijih bauksit dan  mengembangkan industri hilirisasi pemrosesan dan pemurnian bauksit mulai Juni 2023. Deputi Bidang Koordinasi dan Investasi dan Pertambangan Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan bahwa pada tahun ini dapat diperkirakan nilai tambah dari pertambangan nikel meningkat mencapai angka 38 Miliar US$ atau setara dengan 592,2 Triliun Rupiah. Tak hanya itu, pabrik pengolahan nikel juga mulai banyak bermunculan, dimana pada tahun 2023 ini diperkirakan terdaoat 43 pabrik pengolahan nikel dan mungkin aka nada peningkatan jumlah lagi. Hal ini tentu menambah jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia di Indonesia.

Badan Energi Internasional (IEA) dalam Southeast Asia Energy Outlook 2022, IEA memprediksi permintaan nikel akan berkembang pesat sampai 20 kali lipat selama periode 2020 sampai 2040. Seperti yang diketahui kesadaran akan pengurangan karbon yang diemisi dari bahan bakar fossil memacu pangsa penggunaan kendaraan listrik dengan berbasis pada batu baterai. Untuk itu, pemurnian nikel merupakan langkah awal dari hilirisasi nikel sebelum dikembangkan menjadi batu baterai. Pada akhirnya, nikel adalah masa depan Indonesia.

Badan Energi Internasional (IEA) di Southeast Asia Energy Outlook 2022 memprediksi bahwa permintaan nikel akan tumbuh dengan cepat hingga 20 kali selama periode 2020 hingga 2040. Saat ini, kampanye global untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil telah meningkatkan permintaan untuk kendaraan listrik. Karena nikel adalah komponen utama kendaraan listrik, yang menyumbang 25-40% dari biaya kendaraan listrik dan menentukan kinerjanya, kelimpahan sumber daya nikel di Indonesia, hilirisasi nikel dan pabrik pemrosesan nikel di Indonesia adalah faktor ekonomik yang sangat menjanjikan dalam era transisi energi saat ini.

Perusahaan Pertambangan dan Smelter Nikel Harus Mematuhi Harga Patokan Mineral (HPM) yang Ditetapkan Setelah Kebijakan Larangan Ekspor Nikel

Melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara Pemerintah Indonesia telah menetapkan Harga Mineral Acuan. Berikut merupakan Harga Mineral Acuan dan Harga Patokan Mineral per Februari 2023:

HPM-NIKEL-FEB

Sumber: nikel.co.id

Ketentuan HMA dan HPM Nikel Februari 2023 ini menjadi pedoman penambang dan pabrik pemurnian dan pengolahan bijih nikel dalam transaksi jual beli bijih nikel dari Ni 1,6% hingga 2,0%. HMA Nikel adalah harga logam nikel dalam cash seller and settlement yang dipublikasikan London Metal Exchange (LME) rata-rata dari tanggal 20 dua bulan sebelum periode HPM sampai tanggal 19 satu bulan sebelum periode HPM.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif telah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor: 27.K/MB.01/MEM.B/2023 tentang Harga Mineral Logam Acuan dan Harga Batubara Acuan untuk Februari 2023. Kepmen yang ditandatangani Arifin Tasrif  pada 10 Februari 2023 menyebutkan Harga Mineral Acuan (HMA) Nikel US$ 28.444,50 dry metric ton (dmt) lebih tinggi US$ 961,88 dmt dibandingkan HMA Nikel Januari 2023, sebesar US$ 27.482,62 dmt.

Pemerintah dalam menetapkan Harga Mineral Patokan (HPM) ini bertujuan agar terciptanya tata niaga dalam subsector mineral dan batubara (minerba) yang berkeadilan, kompetitif, dan transparan terhadap penambang dan smelter sebagai pengusaha nikel. Pemerintah percaya pengembangan regulasi HPM melalui Peraturan Menteri ini akan menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk penambang nikel dan smelter nikel serta mempertahankan daya saing industri hilirisasi di Indonesia.

Satuan tugas juga dibentuk untuk memastikan implementasi aturan terkait HPM di lapangan, evaluasi secara rutin dilakukan untuk memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang terbukti melanggar dan tidak mengikuti aturan. Apabila pemegang IUP komoditas nikel dan pemegang IUI/fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian komoditas nikel yang melakukan penjualan dan/atau pembelian bijih (ore) nikel dengan tidak mengacu pada HPM Logam akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terkait sanksi, hal ini telah tercantum dalam Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020, yang menyatakan:

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

  1. Peringatan tertulis;
  2. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan, dan/atau
  3. Pencabutan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi.Bagaimana Strategi Antisipasi Kekalahan Banding oleh WTO?

Nickel-Lawsuit

Strategi Antisipasi Kekalahan dalam Banding

Antisipasi terhadap kekalahan dalam pengajuan Banding kepada WTO perlu menjadi perhatian oleh pemerintah. Keuntungan yang didapat oleh Indonesia melalui hilirisasi nikel jangan sampai menjadi kerugian karena membayar kekalahan Indonesia kepada WTO. Mengutip dari Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara PP-ISEI Pusat, Haryo Kuncoro terdapat beberapa hal yang dapat dikembangkan melalui kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah sebagai berikut:

  1. Pengenaan bea keluar atas bijih nikel mentah yang di ekspor. Pemerintah dapat menetapakan bea yang tinggi terhadap bijih nikel mentah dan menetapkan bea yang lebih rendah terhadap nikel yang telah diolah.
  2. Importir luar negeri diwajibkan memiliki pabrik pengolahan di Indoenesia, secara langsung maupun tidak hal ini akan menimbulkan kemitraan dengan industriawan domestic.
  3. Terakhir, upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah  ekosistem hilirisasi nikel harus segera diakselerasi sebelum masa pengajuan banding kedaluwarsa.

Pada dasarnya, langkah Indonesia untuk melakukan pelarangan ekspor bijih nikel bukanlah langkah yang bebas dari risiko. Kegigihan Indonesia hanya akan membawa keuntungan apabila diimbangi dengan pemberian perhatian khusus dan penanggulangan risiko dari pemerintah Indonesia terhadap isu-isu pajak, kemudahan berinvestasi, transfer nilai tambah dari perusahaan tambang ke smelter, dan peningkatan tenaga kerja secara nyata. Dibutuhkan sinergi dalam kerjasama untuk menanggulangi risiko dan memanfaatkan potensi terkait kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia.

***

ADCO Law merupakan law firm Jakarta Indonesia yang menyediakan ragam layanan hukum terintegrasi kepada klien mulai dari transaksi komersial dan litigasi perusahaan di berbagai sektor industri.

Dengan pengalaman lebih dari satu dekade, tidak hanya aspek regulasi, kami memahami industri dan bisnis klien. Kami memberikan nasihat hukum menyeluruh dan solusi untuk meminimalisasi risiko hukum secara komprehensif dalam menghadapi dinamika bisnis.

Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai masalah ini, jangan ragu untuk menghubungi kami

 

ADCO Law

Setiabudi Building 2, 2nd Floor, Suite 205C

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Setiabudi Karet

Jakarta Selatan, 12920, Indonesia.

Phone : +6221 520 3034

Fax     : +6221 520 3035

Email : [email protected]

Penafian: Artikel ini telah disiapkan hanya untuk tujuan bacaan ilmiah dan pemasaran dari  ADCO Law. Dengan demikian, semua tulisan yang dimuat di sini bukan merupakan pendapat hukum formal dari ADCO Law. Oleh karena itu, ADCO Law harus dibebaskan dari dan/atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukan oleh entitas yang menggunakan tulisan ini di luar tujuan ADCO Law.