Krisis Perbankan Dunia, Haruskah Indonesia Waspada?
Bank-Bank Dunia Ambruk
Industri perbankan dunia tengah mengalami tantangan yang luar biasa akibat ketidakpastian ekonomi saat ini dan ancaman resesi global. Sederet bank-bank besar dunia mulai dari Amerika Serikat hingga Eropa mengalami krisis luar biasa, yang diduga dikarenakan banyaknya penarikan dana yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan startup, kondisi ekonomi pasca Covid-19, kenaikan harga barang dan jasa sebagai akibat kondisi geopolitik antara Rusia dan Ukraina hingga kenaikan suku bunga agresif Federal Reserve (The Fed) selama setahun terakhir untuk meredam inflasi yang telah mengikis nilai aset bank seperti obligasi Pemerintah dan sekuritas yang didukung hipotek.
Setidaknya terdapat lima bank besar dunia yang tengah diterpa krisis, di antaranya adalah sebagai berikut:
- Creddit Suisse
Saham Credit Suisse kehilangan lebih dari seperempat nilai sahamnya pada awal bulan Maret. Tidak hanya itu, guncangan sempat terjadi terhadap saham bank ini setelah Saudi National Bank (SNB) selaku pemegang saham mayoritas menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi menyuntikan dana ke Credit Suisse. Kabarnya saat ini UBS Group memutuskan untuk melakukan akuisisi darurat terhadap Credit Suisse Group, namun ternyata hal ini berdampak terhadap para pemegang obligasi paling berisiko, hal ini dikarenakan tindakan akuisisi tersebut akan menghapus nilai obligasi “additional tier one” (AT1) milik Credit Suisse. Regulator keuangan Swiss, Finma, mengatakan bahwa obligasi AT1 senilai 16 miliar franc Swiss atau setara dengan US$17,3 miliar (Rp 265,55 triliun) akan sepenuhnya terkena write off, bahkan sebelumnya Bank Credit Suisse juga sudah diberitahu oleh Finma bahwa obligasi tersebut akan dihapus hingga bernilai nol. - Silicon Valley Bank
Silicon Valley Bank resmi mengalami kolaps pada awal Maret lalu setelah perusahaan perbankan komersial berbasis di California, Amerika Serikat ini mengalami krisis modal dan mengalami kebangkrutan. Sebagian besar nasabah dari SVB merupakan perusahaan startup, dimana saat pandemi Covid-19 melanda, perusahaan-perusahaan startup tersebut banyak melakukan deposit pada SVB, yang kemudian deposit tersebut dikonversikan dalam bentuk uang oleh SVB dan dijadikan dana investasi di tempat lain melalui skema pembelian government bond (US). Namun, ketika The Fed menaikkan suku bunga, para nasabah SVB secara bersamaan menarik dana mereka di SVB yang mengakibatkan SVB tidak lagi memiliki dana likuidasi. Hingga 9 Maret 2023 lalu, penarikan dana pada bank tersebut menembus angka US$ 42 Miliar atau Rp 648,69 Triliun. Nasabah SVB lainnya pun khawatir atas dana mereka akibat terjadinya peristiwa ini sehingga terjadilah bank run yaitu kondisi dimana banyak nasabah secara bersamaan menarik dana secara besar-besaran dan sesegera mungkin pada suatu bank karena nasabah tidak percaya bahwa bank tersebut mampu membayar dananya dalam jumlah penuh dan tepat waktu. SVB akhirnya mencari suntikan dana karena tidak memiliki liquid asset yang cukup untuk memenuhi tingginya penarikan dana oleh para nasabah mereka. Namun suntikan dana tidak kunjung didapat, sehingga SVB terpaksa menjual asetnya berupa kepemilikan obligasi senilai US$ 21 Miliar atau setara dengan Rp 324,5 Triliun, yang sebagian obligasi yang mereka miliki adalah surat utang Pemerintah Amerika Serikat. Namun, naasnya penjualan surat utang tersebut malah membuat bank tersebut mengalami kerugian hingga US$ 1,8 Miliar atau setara dengan Rp 27,8 Triliun, hal ini dikarenakan nilai obligasi saat itu tengah turun drastis. - Signature Bank
Signature Bank yang merupakan bank berbasis di New York yang telah beroperasi sejak tahun 2001, bank ini resmi ditutup oleh regulator bank dan Departemen Keuangan AS dua hari setelah Silicon Valley Bank. Pada dasarnya, kegagalan Signature Bank tidak lain adalah akibat dari gelombang kepanikan atas kebangkrutan Silicon Valley Bank sebelumnya.Diketahui bahwa kekhawatiran nasabah yang mayoritas merupakan perusahaan startup atas eksposur Signature terhadap kripto meningkat setelah SVB bangkrut. Lembaga penjamin simpanan AS, FDIC, mengatakan telah membentuk entitas baru, Signature Bridge Bank, yang akan dibuka seperti biasa di bawah kendali regulator. Nasabah akan dapat mengakses semua dana mereka dan cek akan dihapus.
- Silvergate Bank
Silvergate adalah salah satu dari dua bank utama untuk perusahaan kripto, bersama dengan Signature Bank yang berbasis di New York. Bank tersebut terpaksa harus menjual aset dengan kerugian untuk menutupi penarikan dana besar-besaran oleh nasabahnya yang panik, dan pada akhirnya bank tersebut mengumumkan bahwa mereka sedang menghentikan operasi dan melikuidasi bank. Saham perusahaan tersebut turun lebih dari 36 persen pada pasca perdagangan bursa. - First Republic Bank
First Republic Bank adalah salah satu bank yang mengalami tekanan besar di tengah kekhawatiran peristiwa penutupan tiga bank, yakni Silvergate Bank, Silicon Valley Bank, dan Signature Bank. Pasalnya harga saham First Republic Bank sempat tergerus 52 persen, hingga pada akhirnya sebanyak 11 bank sepakat untuk menyetorkan dana senilai US$ 30 Miliar atau Rp 462 Rupiah kepada First Republic Bank untuk menghindari bank tersebut mengalami kebangkrutan.
Baca Juga: Potensi Pet Economy di Indonesia
Kegagalan Mekanisme Pasar?
Terdapat dua pandangan terkait mekanisme pasar dari industri perbankan ini. Pertama adalah pandangan dari mereka yang beranggapan bahwa kapitalisme dan mekanisme pasar bebas adalah akar dari permasalahan krisis perbankan yang sedang terjadi saat ini. Mereka berpendapat bahwa sistem ekonomi pasar bebas berdampak pada penciptaan berbagai produk derivatif keuangan termasuk penyebarannya melalui lalu lintas investasi dan portofolio global yang nyaris bebas dari hambatan. Sehingga, mereka berpendapat bahwa dalam hal ini diperlukan adanya pembatasan permodalan serta revisi terhadap struktur perekonomian internasional dengan lebih mengedepankan peran negara selaku stabilisator dan regulator perekonomian negara.
Kedua adalah pandangan dari mereka yang beranggapan bahwa ekonomi pasar tidak bisa disalahkan atas krisis perbankan yang tengah terjadi saat ini. Mereka memiliki anggapan bahwa krisis keuangan pada industri perbankan ini terjadi akibat berbagai faktor seperti 1) kebijakan terkait defisit dalam neraca pembayaran, 2) overconsumption dalam perilaku konsumen perumahan di Amerika, 3) overvaluation untuk aset property, dan 4) penerapan risk management yang sangat tidak proper untuk berbagai produk derivatif sektor keuangan.
Propaganda perang oleh Pemerintah AS dianggap memperparah keadaan karena disinyalir kegiatan tersebut menghabiskan dana sekitar US$ 3 Triliun menjadikan krisis finansial di sektor perbankan saat ini sebagai bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Sehingga, krisis terjadi bukan disebabkan kegagalan mekanisme pasar melainkan kondisi transisi dimana pasar melakukan koreksi terhadap 4 kelemahan fundamental yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa dalam hal ini Pemerintah tidak perlu melakukan intervensi yang signifikan sebab setiap intervensi justru akan memperlambat proses transisi menuju ekuilibrium yang baru.
Namun, pada dasarnya terlepas dari apakah hal ini disebabkan oleh kegagalan ekonomi pasar atau merupakan akibat dari mekanisme koreksi terhadap pasar, pemerintah selaku regulator sudah sepatutnya tidak berdiam diri baik di tengah krisis maupun terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Perlukah Bank RI Waspada?
Krisis perbankan di Amerika Serikat yang menyebabkan beberapa bank besar dunia mengalami kolaps yang secara tidak langsung menimbulkan efek domino bagi perekonomian global termasuk Indonesia. Presiden Joko Widodo telah memperingatkan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi perbankan di Amerika Serikat yang sedang berada pada fase negatif. Dampak yang dikhawatirkan terjadi ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah berupa limpahan dampak negatif yang akan mempengaruhi makro ekonomi suatu Kawasan atau negara melalui lintas modal, likuiditas, hingga nilai tukar. Nilai tukar (rupiah) bahkan melemah 0 poin atau 0,19 persen ke posisi Rp15.183 per dolar AS sebagai akibat dari kekhawatiran pasar terhadap meluasnya krisis perbankan dunia. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menilai bahwa potensi dampak dari bangkrutnya bank di AS akan sangat terasa pada sektor startup atau e-commerce, termasuk pada perusahaan-perusahaan rintisan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan bank-bank yang mengalami kolaps atau bank-bank manapun di dunia. Hal ini dikarenakan nasabah bank-bank dunia yang mengalami kolaps tersebut adalah venture capital yang memberikan pendanaan bagi pada perusahaan start up.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bahwa fenomena krisis perbankan ini tidak akan berdampak secara langsung maupun signifikan terhadap industri perbankan Indonesia karena saat ini Indonesia tidak memiliki hubungan bisnis, facility line maupun investasi pada produk sekuritisasi Silicon Valley Bank. Selain itu, berbeda dengan perbankan lainnya di luar negeri khususnya perbankan di Amerika Serikat, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan startup maupun kripto. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa Indonesia, setelah mengalami krisis keuangan pada tahun 1998 lalu, telah melakukan langkah-langkah yang mendasar untuk memperkuat kelembagaan, infrastruktur dan tata kelola serta perlindungan nasabah sehingga sistem perbankan di Indonesia menjadi kuat, resilien dan stabil. Hal ini tercermin dari kinerja perbankan di Indonesia yang terjaga dengan baik dan tumbuh positif di tengah tekanan ekonomi baik domestik maupun global.
Saat ini, perbankan Indonesia menunjukkan likuiditas yang sangat baik. Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga asset perbankan tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Pun saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori Bank Dalam Resolusi, yakni bank yang tidak dapat disehatkan dan yang mengalami kesulitan keuangan yang membahayakan kelangsungan usahanya.
Baca Juga: Kisah Peringatan: Studi Kasus Panas Bumi
Langkah Antisipasi Menghadapi Krisis
Menurut Kemenkeu, selama ini Indonesia dapat mengendalikan dengan baik isu-isu terkait keuangan dan kebijakan di sektor riil. Koordinasi yang baik dan tepat antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi bukti bahwa Indonesia memiliki sejumlah pengalaman dalam menghadapi potensi krisis global akibat kolapsnya beberapa bank besar di dunia. Dengan koordinasi yang cukup intens dari keempat otoritas yang telah disebutkan sebelumnya, juga pengalaman krisis dan pandemi, Muhammad Edhie, Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia menganggap bahwa Indonesia dapat memitigasi kekhawatiran atas jatuhnya bank-bank dunia yang tengah terjadi saat ini. Disamping itu, kebijakan terkait Protokol Penanggulangan Krisis (PMK) telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Berdasarkan peraturan tersebut, mandat pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dipegang oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). KSSK merupakan wadah koordinasi, kerja sama, dan pertukaran informasi antar otoritas dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan krisis sistem keuangan, dan penanganan permasalahan bank sistemik dalam kondisi normal sistem keuangan dan kondisi krisis sistem keuangan.
Untuk mencegah terjadinya krisis keuangan pada industri perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) menetapkan daftar bank sistemik yang di update secara berkala setiap enam bulan sekali. Bank sistemik adalah bank yang memiliki sejumlah aset yang besar dan memiliki kompleksitas produk beragam dengan konglomerasi keuangan. Bank sistemik juga memiliki keterkaitan dengan bank-bank lainnya, dimana posisi bank tersebut tidak dapat digantikan jika terjadi kegagalan atau penutupan. Pada dasarnya kegagalan suatu bank dapat berdampak secara sistemik maupun nonsistemik. Dampak sistemik dapat diartikan bahwa apabila suatu bank mengalami masalah, maka masalah tersebut mengakibatkan gangguan bahkan kegagalan pada sektor jasa keuangan atau bahkan bank lainnya. OJK menetapkan setidaknya tiga kriteria bank sistemik, antara lain berdasarkan:
- Ukuran Skala Bank
Bank yang tergolong sebagai bank sistemik adalah bank-bank yang memiliki skala besar yang masuk ke dalam kategori BUKU 4 dan BUKU 3. Pada kedua kategori BUKU tersebut, bank memiliki kegiatan usaha yang cakupannya luas dalam arti keragaman produk, layanan dan penyertaan modal pada lembaga keuangan lain yang menjangkau lingkup internasional, serta total aset dan jumlah deposito yang dimiliki oleh bank terkait. Dimana semakin besar jumlah aset yang dimiliki, apabila bank tersebut mengalami masalah maka risiko dampak sistemik terhadap bank lainnya akan semakin tinggi. - Interkoneksitas
Bank yang tergolong sebagai bank sistemik ini tidak hanya menjalankan kegiatan usaha berupa penghimpunan dan penyaluran dana saja, tetapi juga menjalin kerja sama dengan instansi-instansi lain, bank-bank lain, dan juga lembaga-lembaga keuangan lainnya. - Komplesitas Produk dan Transaksi
Bank yang tergolong sebagai bank sistemik, produk dan layanannya lebih beragam dan kompleks dengan jangkauan yang lebih luas, tidak hanya sebatas tabungan, giro, dan kredit saja, tetapi bank tersebut memiliki beragam produk lainnya yang lebih kompleks seperti warkat, deposito, dan lainnya. Produk dan layanan tersebut membutuhkan perhatian dan pengelolaan yang sangat baik dan cermat agar tidak mengalami suatu kesalahan atau masalah yang membahayakan kelangsungan bank itu sendiri dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Sementara apabila sebuah bank mengalami kesulitan likuiditas, maka bank tersebut dapat mengajukan permohonan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) kepada BI. Dalam pemberian PLJP, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian mengenai pemenuhan persyaratan solvabilitas dan tingkat kesehatan bank. Kemudian, BI bersama OJK melakukan penilaian mengenai pemenuhan persyaratan agunan dan perkiraan kemampuan bank untuk mengembalikan PLJP.
Kesimpulannya, terjadinya krisis perbankan ini diharapkan dapat membantu Indonesia khususnya pemerintah dan pelaku usaha di bidang keuangan khususnya perbankan untuk mengambil pelajaran dalam rangka mitigasi risiko kemungkinan terjadinya krisis likuiditas perbankan di Indonesia. Dengan demikian, industri perbankan di Indonesia akan tetap stabil dan sehat di masa mendatang sebagai kendaraan untuk terus memajukan perekonomian Indonesia.
***
ADCO Law adalah law firm jakarta,indonesia yang menyediakan ragam layanan hukum terintegrasi kepada klien mulai dari transaksi komersial dan litigasi perusahaan di berbagai sektor industri.
Berpengalaman lebih dari satu dekade, tidak hanya soal aspek regulasi, kami juga memahami industri dan bisnis klien. Kami memberikan nasihat hukum menyeluruh dan solusi untuk meminimalisasi risiko hukum secara komprehensif dalam menghadapi dinamika bisnis.
Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai masalah ini, jangan ragu untuk menghubungi kami
ADCO Law
Setiabudi Building 2, 2nd Floor, Suite 205C
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Setiabudi Karet
Jakarta Selatan, 12920, Indonesia.
Phone : +6221 520 3034
Fax : +6221 520 3035
Email : [email protected]
Penafian: Artikel ini telah disiapkan hanya untuk tujuan bacaan ilmiah dan pemasaran dari ADCO Law. Dengan demikian, semua tulisan yang dimuat di sini bukan merupakan pendapat hukum formal dari ADCO Law. Oleh karena itu, ADCO Law harus dibebaskan dari dan/atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukan oleh entitas yang menggunakan tulisan ini di luar tujuan ADCO Law.