| |

Mengenal Perusahaan Patungan atau Joint Venture

Joint Venture

Apa Itu Joint Venture?

Joint Venture atau JV adalah kerja sama bisnis yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan, baik perusahaan yang sudah ada maupun perusahaan yang akan didirikan, yang bertujuan untuk mencapai tujuan bisnis tertentu. Kerjasama semacam ini dilakukan melalui perjanjian atau kontrak yang menghasilkan pembentukan perusahaan baru bernama Joint Venture Company atau JVC. Membentuk Joint Venture adalah strategi bisnis umum yang digunakan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan bersama dan/atau memperluas dan menjangkau pasar konsumen tertentu. Entitas bisnis yang membentuk JV kemudian menggabungkan keahlian dan sumber daya mereka untuk mencapai tujuan tertentu. Selain itu, pembentukan JV juga dapat meminimalkan risiko bisnis dari satu badan usaha karena semua pemegang saham dalam JV melakukan pembagian risiko.

Namun untuk melakukan JV, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Undang-Undang Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur bahwa Joint Venture hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk badan hukum, dan secara tegas mengatur bahwa perusahaan asing harus berbentuk perseroan terbatas yang didirikan dan berkedudukan di negara Republik Indonesia.

Perbedaan Antara Joint Venture dan Kemitraan

Meskipun JV dan kemitraan biasanya dibentuk oleh dua atau lebih perusahaan atau individu, perbedaannya terletak pada maksud atau tujuan pembentukannya. Kemitraan disebut sebagai hubungan atau kerja sama antara pihak-pihak yang melakukan bisnis dengan tujuan bersama untuk menghasilkan keuntungan. Sedangkan JV melibatkan dua atau lebih badan usaha yang melakukan kerjasama untuk mengembangkan suatu proyek tertentu. JV sering menggabungkan berbagai aspek dari masing-masing perusahaan kontraktor, seperti sumber daya manusia, keuangan, dan keahlian manajemen. Sedangkan pajak yang ditanggung oleh Joint Venture menjadi tanggung jawab Perusahaan Joint Venture, dan pajak para “venturer” menjadi tanggung jawab masing-masing perusahaan (bukan tanggung jawab pemilik proyek), yang tetap melaporkannya kepada perusahaan Joint Venture.

Joint Venture

Baca Juga: Mengenal Klausula Baku dalam Perjanjian Baku

Dasar Hukum Joint Venture

  1. Pasal 1 angka 3 UU Penanaman Modal menyatakan bahwa penanaman modal asing adalah kegiatan penanaman modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik dengan modal asing sepenuhnya maupun modal bersama dengan penanam modal dalam negeri.
  2. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001 tentang Kepemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing menjelaskan bahwa penanaman modal asing dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu (i) joint venture antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; dan (ii) langsung, dalam arti seluruh modal dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing.

Contoh Joint Venture

Tambang Emas Freeport, salah satu tambang penghasil emas terbesar di Indonesia, dimiliki oleh PT Freeport Indonesia, yang merupakan Joint Venture yang dibentuk antara Freeport-McMoran dan PT Industri Asahan Aluminium Persero (Inalum). Saat ini merupakan tambang penghasil konsentrat emas terbesar di Indonesia. PT Freeport Indonesia tidak memproduksi emas murni, melainkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak, yang semuanya diekspor ke pasar internasional.

Prinsip-prinsip dalam Perjanjian Joint Venture

Perjanjian Joint Venture sebagai suatu perjanjian kerjasama harus memuat asas-asas yang terkandung dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, yaitu sebagai berikut:

  1. Asas Kebebasan Berkontrak
    Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang memberikan kepada masing-masing pihak pilihan untuk mengadakan perjanjian dengan kebebasan untuk mengatur dan menegosiasikan hak dan kewajiban apa yang akan diatur dalam kontrak. Yang dimaksud dengan “kebebasan” adalah bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, ketertiban umum, dan kesusilaan yang baik. Menurut pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian mengikat tidak hanya mengenai hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga menurut sifat perjanjian itu mengikat juga mengenai hal-hal lain yang diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Hal ini juga sesuai dengan syarat untuk membuat suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat yang disepakati para pihak harus didasarkan pada “klausula yang halal” karena jika sebaliknya maka perjanjian menjadi “batal demi hukum” atau “void ab initio” dan dianggap tidak pernah sah. Ketentuan “klausa yang halal” juga telah ditegaskan dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi:“Suatu sebab dilarang jika dilarang oleh undang-undang, atau jika bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum.”
  2. Asas Konsensualisme
    Asas ini berkaitan erat dengan prinsip sebelumnya. Konvergensi kehendak atau konsensus para pihak yang berkontrak adalah sumber kewajiban kontraktual. Kesepakatan yang dibuat oleh para pihak telah terjadi dengan adanya kesepakatan tanpa perlu memenuhi formalitas tertentu.
  3.  Asas Kepribadian (Personality)
    Asas ini menyatakan bahwa pihak ketiga yang tidak terkait dengan para pihak dalam perjanjian tidak terikat dengan perjanjian itu tetapi hanya diberikan hak dan kewajiban yang terkandung didalamnya kepada para pihak yang terlibat/membuatnya. Asas ini dapat disimpulkan berdasarkan Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
  4. Asas Itikad Baik
    Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, suatu perjanjian harus dilandasi dengan itikad baik, artinya isi perjanjian yang berupa hak dan kewajiban itu harus wajar dan rasional. Ini mencakup semua aspek penting, misalnya dalam hal Perjanjian Joint Venture ini. Penanam modal dalam negeri harus memberikan penjelasan yang jujur dan jelas mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur proyek kepada Penanam Modal Asing, demikian pula Penanam Modal Asing yang cenderung lebih melek teknologi dan keterampilan manajemen mereka harus memberikan penjelasan yang jelas dan juju.
  5. Asas Pacta Sunt Servanda (Kepastian Hukum)
    Pacta Sunt Servanda berarti “perjanjian itu mengikat”, jadi apabila suatu perjanjian telah dibuat secara sah oleh para pihak, maka dengan sendirinya perjanjian itu mengikat para pihak. Kekuatan mengikat ini sama kuat dan mengikatnya dengan hukum yang dibuat oleh pemerintah.

Joint Venture

Baca Juga: Demokrasi: Pengertian, Ciri-Ciri, dan Jenis

Struktur Perjanjian Joint Venture

Ketika para pihak telah sepakat untuk membentuk Joint Venture sebagai wadah khusus untuk melaksanakan proyek yang mereka biayai, mereka harus menandatangani Perjanjian Joint Venture yang memiliki struktur tersendiri. Perjanjian Joint Venture harus mengatur persentase kepemilikan saham untuk menentukan kendali atas perusahaan patungan (JVC/JV Company), termasuk kendali atas aset dan manajemen.

Selain hal tersebut di atas, Perjanjian Joint Venture harus memuat ketentuan yang mengatur kewajiban Joint Venture untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain tentang perizinan dan pembatasan kepemilikan saham asing dalam hukum penanaman modal, karena Joint Venture cukup tergantung tentang bagaimana perusahaan JV beroperasi.

Klausul/pasal lain dalam Perjanjian Joint Venture sama dengan perjanjian kerjasama pada umumnya yaitu memuat hal-hal seperti pengertian perjanjian, tujuan perjanjian, force majeure, kepailitan, penarikan diri, penghentian, kerahasiaan, berlaku hukum, dan penyelesaian sengketa.

Hal Penting yang Harus Dilakukan

Sebelum mengadakan perjanjian Joint Venture para pihak harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Mekanisme dan aturan terkait keputusan pemegang saham, termasuk pendelegasian tanggung jawab kepada eksekutif.
  2. Pemimpin yang akan memimpin Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang biasanya diangkat oleh salah satu direktur.
  3. Konsultasi, merupakan bagian penting yang harus dilakukan sebelum melakukan Joint Venture karena setiap perusahaan dalam kontrak berhak memahami tujuan yang ingin dicapai melalui Perusahaan Joint Venture.
  4. Kedua perusahaan perlu memahami setiap detail ketentuan dalam klausula kontrak sebelum mensyaratkan setiap lembarnya.

Lalu, apakah bea meterai merupakan kewajiban dalam hal penandatanganan Perjanjian Joint Venture? Dan apakah itu merupakan syarat sahnya perjanjian? Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian akan tetap sah dan dapat dilaksanakan apabila memenuhi 4 syarat sahnya perjanjian. Dengan demikian, materai hanya diperlukan sebagai pelengkap jika di kemudian hari terjadi sengketa atau wanprestasi yang perlu diselesaikan melalui Pengadilan.

***

ADCO Law merupakan law firm Jakarta Indonesia yang menyediakan ragam layanan hukum terintegrasi kepada klien mulai dari transaksi komersial dan litigasi perusahaan di berbagai sektor industri.

Dengan pengalaman lebih dari satu dekade, tidak hanya aspek regulasi, kami memahami industri dan bisnis klien. Kami memberikan nasihat hukum menyeluruh dan solusi untuk meminimalisasi risiko hukum secara komprehensif dalam menghadapi dinamika bisnis.

Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai masalah ini, jangan ragu untuk menghubungi kami

 

ADCO Law

Setiabudi Building 2, 2nd Floor, Suite 205C

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Setiabudi Karet

Jakarta Selatan, 12920, Indonesia.

Phone : +6221 520 3034

Fax     : +6221 520 3035

Email : [email protected]

Penafian: Artikel ini telah disiapkan hanya untuk tujuan bacaan ilmiah dan pemasaran dari  ADCO Law. Dengan demikian, semua tulisan yang dimuat di sini bukan merupakan pendapat hukum formal dari ADCO Law. Oleh karena itu, ADCO Law harus dibebaskan dari dan/atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukan oleh entitas yang menggunakan tulisan ini di luar tujuan ADCO Law.