Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023: Titik Balik dalam Hukum Ketenagakerjaan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023 (“Putusan MK 168/2023”) merupakan perubahan penting dalam kerangka hukum ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Ketenagakerjaan”). Putusan ini bukan hanya sekadar peninjauan kembali, tetapi merupakan keputusan penting yang memperkenalkan perubahan penting sekaligus menegaskan kembali dan menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada. Putusan ini menjanjikan dampak jangka panjang bagi pemberi kerja dan pekerja, menciptakan riak di seluruh pasar tenaga kerja di Indonesia.
Berikut adalah beberapa sorotan utama dari Putusan MK 168/2023 yang patut mendapatkan perhatian khusus karena potensinya untuk memengaruhi hubungan kerja secara signifikan:
Baca juga: Pekerjaan Jarak Jauh Lintas Negara: Tantangan dan Apa yang Harus Dihadapi
- Perjanjian Kerja
Putusan MK 168/2023 menegaskan kembali bahwa jangka waktu maksimum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) adalah 5 tahun, termasuk perpanjangan kontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Sebelumnya, ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja.
Putusan ini tidak memperkenalkan perubahan baru, melainkan menyelaraskan pemahaman yang telah ada dengan memperjelas posisi hukumnya. Oleh karena itu, pemberi kerja perlu meninjau dan memperbarui PKWT mereka untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan ini, sehingga dapat mengurangi risiko ketidakpatuhan dan menjaga hubungan kerja yang sehat.
- Tenaga Kerja Asing
Putusan MK 168/2023 kembali menegaskan pentingnya keterampilan yang relevan bagi tenaga kerja asing dan prioritas tenaga kerja lokal sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Ketentuan ini menekankan bahwa tenaga kerja lokal harus tetap menjadi pilihan utama dalam setiap kesempatan kerja.
Namun, standar dan batasan untuk memprioritaskan tenaga kerja lokal masih belum dijabarkan secara rinci, sehingga implementasinya sangat bergantung pada proses pengelolaan izin yang berlaku. Selain itu, beberapa posisi tetap tunduk pada Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 349 Tahun 2019 tentang Jabatan-Jabatan Tertentu yang Dilarang untuk Tenaga Kerja Asing (“Kepmenaker 349/2019”).
Pemberi kerja disarankan untuk menilai kembali relevansi peran dan keterampilan tenaga kerja asing mereka. Hal ini mencakup memastikan bahwa tenaga kerja asing mematuhi posisi yang diatur dalam Kepmenaker 349/2019 serta memperoleh izin yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Baca Juga: Pemutusan Hubungan Kerja
- Pemutusan Hubungan Kerja
Kepmenaker 168/2023 menegaskan kembali semangat untuk mencapai kesepakatan bersama dalam perundingan bipartit antara pengusaha dan pekerja dan/atau serikat pekerja apabila pekerja keberatan dengan pemutusan hubungan kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Selain itu, sehubungan dengan Pasal 151 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, Putusan 168/2023 juga menetapkan bahwa jika perundingan bipartit antara pengusaha dan pekerja tidak menghasilkan penyelesaian secara damai, maka pemutusan hubungan kerja harus ditunda hingga proses penyelesaian perselisihan (misalnya, melalui pengadilan) selesai. Ini berarti bahwa di bawah penafsiran Mahkamah Konstitusi saat ini, setiap pemutusan hubungan kerja sekarang jelas hanya berlaku setelah dikeluarkannya keputusan final dan mengikat oleh lembaga peradilan.
Selama waktu ini, kecuali jika disepakati atau diatur lain, pemberi kerja dan pekerja harus terus melakukan kewajiban masing-masing sampai keputusan final dan mengikat dikeluarkan, sehingga hal ini menjadi pengubah permainan yang dapat berdampak pada strategi pemutusan hubungan kerja dan pengambilan keputusan, terutama untuk pemutusan hubungan kerja sepihak.
- Persyaratan Bahasa untuk PKWT
Putusan MK 168/2023 juga memperjelas kewajiban bahwa PKWT harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Hal ini menimbulkan potensi perdebatan dalam praktiknya, terutama ketika bahasa yang digunakan dalam perjanjian tersebut adalah bahasa asing bagi pekerja asing yang tidak memahami bahasa Indonesia. Timbul pertanyaan apakah hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum yang berpotensi membatalkan perjanjian. Namun, ketentuan hukum lainnya, termasuk Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengadilan (“SEMA 3/2023”), menunjukkan bahwa selama ada itikad baik, masalah bahasa tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan atau tidak sahnya perjanjian.
Baca Juga: Pengesahan Undang-Undang KIA
Selain menegaskan kembali dan mengklarifikasi ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU Ketenagakerjaan, Putusan MK 168/2023 pada dasarnya tampaknya memperkenalkan langkah-langkah baru yang bertujuan untuk mendorong standar yang lebih adil untuk hak-hak karyawan. Oleh karena itu, pengusaha harus mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan kepatuhan, termasuk memperbarui kebijakan internal mereka dan menyelaraskan praktik-praktik mereka dengan kerangka hukum yang baru ditetapkan. Hal ini tidak hanya akan melindungi operasi bisnis tetapi juga menjunjung tinggi hak-hak karyawan, mendorong tempat kerja yang lebih seimbang dan sehat secara hukum.
Untuk mendapatkan wawasan yang komprehensif dan panduan ahli mengenai hukum ketenagakerjaan di Indonesia, jangan ragu untuk menghubungi firma kami. ADCO Law siap memberikan bantuan yang diperlukan. Tetaplah terinformasi dan patuh untuk mendukung perlakuan yang adil terhadap karyawan dan kelangsungan kegiatan bisnis Anda di Indonesia.
***
ADCO Law adalah law firm jakarta,indonesia yang menyediakan ragam layanan hukum terintegrasi kepada klien mulai dari transaksi komersial dan litigasi perusahaan di berbagai sektor industri.
Berpengalaman lebih dari satu dekade, tidak hanya soal aspek regulasi, kami juga memahami industri dan bisnis klien. Kami memberikan nasihat hukum menyeluruh dan solusi untuk meminimalisasi risiko hukum secara komprehensif dalam menghadapi dinamika bisnis.
Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai masalah ini, jangan ragu untuk menghubungi kami
ADCO Law
Setiabudi Building 2, 2nd Floor, Suite 205C
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62, Setiabudi Karet
Jakarta Selatan, 12920, Indonesia.
Phone : +6221 520 3034
Fax : +6221 520 3035
Email : [email protected]
Penafian: Artikel ini telah disiapkan hanya untuk tujuan bacaan ilmiah dan pemasaran dari ADCO Law. Dengan demikian, semua tulisan yang dimuat di sini bukan merupakan pendapat hukum formal dari ADCO Law. Oleh karena itu, ADCO Law harus dibebaskan dari dan/atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukan oleh entitas yang menggunakan tulisan ini di luar tujuan ADCO Law.